Tulisan ini tidak membahas konten usulan Dewan Pers
mengenai Rancangan Peraturan Presiden (Rancangan Perpes) tentang Media
Sustainability yang forum pembahasannya atas fasilitasi Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang beberapa waktu lalu
sempat begitu gaduh diawal acara sehingga harus dihentikan, bahkan
sebelum acara inti dimulai, dan dijadwal ulang.
Kenapa begitu?
Bagi penulis, jika ada sebuah forum pembahasan rancangan sebuah
peraturan perundang-undangan sampai harus diakhiri sebelum dimulai
karena kerasnya perdebatan tentang sebuah materi, maka materinya itu
belum layak disebut Rancangan Perpres, masih jauh dari layak untuk masuk
tahap selanjutnya yaitu tahap harmomisasi sebelum diajukan kepada dan
untuk ditandatangani Presiden.
Hal ini berkaca dari pengalaman
penulis sebagai Koordinator Tim Perumus Peraturan Komisi Informasi Pusat
tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP) yang setelah
diundangkan disebut Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun
2021 tentang SLIP.
Sebuah rancangan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang Undang haruslah sudah melalui proses panjang, termasuk
telah melalui proses uji publik yang kuat, sehingga tidak ada lagi
pertentangan tajam diantara pihak yang berkepentingan sebelum memasuki
tahapan harmonisasi yang dikoordinasikan oleh tim Kemenkumham RI, untuk
selanjutnya diundanhkan dan dicatatkan dalam Lembaran Negara setelah
ditandatangani Presiden.
Perpres Media Sustainability Beresiko Bagi Presiden?
Sepanjang
pengetahuan penulis, Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU
Pers) tidak pernah memiliki peraturan turunan sebagaimana urutan
peraturan perundang undangan yang diundangkan dan tercatat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan sebagaimana
telah diubah beberapa kali dan terakhir melalui UU Nomor 13 Tahun 2022
mengatur urutan peraturan perundang undangan yaitu Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, Ketetapan MPR, Undang Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu), Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah
(Perda).
Semenjak diundangkannya UU Pers, tidak pernah ada
sekalipun pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa PP
apalagi Perpres dan juga tidak pernah sekalipun Peraturan Dewan Pers
mengikuti proses harmonisasi di bawah koordinasi Kemenkumham apalagi
diundangkan sehingga tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Bahkan
ada kesan selama ini, sepanjang pengetahuan penulis, kalau pemerintah
menerbitkan peraturan pelaksanaan UU Pers dipandang dan dicurigai oleh
komunitas pers sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap kebebasan
pers.
Lantas tiba-tiba saja muncul sebuah dorongan kuat kepada
Presiden untuk menerbitkan Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari
UU Pers. Whaaattt gitu lho?
Jangan lupa, Peraturan Presiden itu
diterbitkan sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah, sebagai
aturan lebih operasional dari Peraturan Pemerintah, sebagai pelaksanaan
perintah dari Peraturan Pemerintah.
Beranjak dari situ, muncul
pertanyaan, lantas Rancangan Peraturan Presiden Tentang Media
Sustainability itu sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah yang
mana?
Kalaupun mau ditarik ke peraturan yang lebih tinggi,
rancangan Perpres tentang Media Sustainability itu sebagai aturan
operasional dari pasal berapa dalam UU Pers?
Faktanya, tidak ada
Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar penerbitan Perpres tentang
Media Sustainability, itu sudah pasti. Dan sudah pasti juga tidak ada
satu pasalpun dalam UU Pers yang dengan jelas memerintahkan Presiden
menerbitkan Perpres untuk hal apapun dalam rangka melaksanakan UU Pers,
apalagi Perpres khusus tentang Media Sustainability sebagai tindak
lanjut dari salah satu pasal jelas dalam UU Pers tersebut.
Hanya
ada dua alasan sebuah peraturan dibawah undang undang diterbitkan.
Pertama karena ada delegasi jelas dari peraturan yang lebih tinggi (PP).
Ada pasal dalam peraturan yang lebih tinggi yang memerintahkan itu. Dan
yang kedua karena atribusi dari lembaga yang mengeluarkan, dalam hal
ini Lembaga Kepresidenan.
Pertanyaannya adalah apakah Presiden
akan menggunakan kewenangan atribusi menerbitkan Perpres tentang Media
Sustainability? Kalau memang karena kewenangan atribusi, kenapa selama
selama 24 tahun berlakunya UU Pers berlaku tidak pernah ada Peraturan
Pemerintah (PP) dan atau Peraturan Presiden yang diterbitkan?
Bahkan,
selama 24 (dua puluh empat) tahun umur UU Pers, bukankah penerbitan
peraturan apapun oleh pemerintah terkait pers terasa dipandang dan
dicurigai sebagai intervensi pemerintah terhadap kebebasan pers?
Selama
24 tahun ini seolah hanya Dewan Pers yang boleh dan dapat menerbitkan
peraturan apapun tentang pers sebagai tindak lanjut UU Pers, bukan
pemerintah melalui PP apalagi Presiden melalui Perpres yang merupakan 2
(dua) instrumen peraturan perundang undangan sebagai pelaksanaan sebuah
Undang Undang.
Bahkan fakta yang lebih mencengangkan, Peraturan
Dewan Pers itupun tidak pernah diundangkan sehingga tidak ada satupun
Peraturan Dewan Pers yang diundangkan dan tercatat dalam Lembaran Negara
sampai saat ini.
Sebuah tindakan yang sangat keliru dari Dewan
Pers yang berakibat buruk bagi keberlakuan sebuah peraturan pelaksanaan
dari UU pers karena tanpa diundangkan sebuah Peraturan Dewan Pers
dipandang hanya diketahui internal Dewan Pers saja dan seluruh orang dan
badan di luar Dewan Pers dapat mendalilkan tidak tahu adanya peraturan
tersebut.
Melihat situasi debat keras saat pertemuan para pihak
yang difasilitasi Kemenkominfo beberapa waktu lalu terkait rencana
penerbitan Perpres tentang Media Sustainability yang bahkan harus distop
sebelum acara dimulai, menunjukan betapa masih sangat kerasnya
perbedaan pandangan di kalangan komunitas pers tentang Perpres Media
Sustainability ini. Baik dari sudut pandang substansi isi Perpres maupun
tentang pilihan instrumen Perpres itu sendiri, kenapa bukan Perpu
misalnya.
Jika dipaksakan diterbitkan, tentu sudah pasti pihak
pertama yang menjadi sasaran empuk kritik tajam adalah Presiden. Padahal
kita semua tahu bahwa Presiden memiliki pandangan demokratis dan
menghormati nilai nilai kebebasan pers.
Beranjak dari
fakta-fakta tersebut, penulis lebih merekomendasikan kepada Presiden
Bapak Joko Widodo untuk tidak menempuh jalur Peraturan Presiden untuk
menjawab dinamika perkembangan pers sebagaimana yang dimuat dalam
Rancangan Perpres yang diusulkan Dewan Pers kepada Kemenkominfo untuk
diproses penerbitannya.
Hal ini sebagaimana pernah penulis
sampaikan secara langsung dalam forum pertemuan antara Dewan Pers,
Konstituen Dewan Pers, dan Mensesneg beberapa waktu lalu.
Perpu Pers Lebih Aman Bagi Presiden
Namun
demikian bukan berarti negara membiarkan saja persoalan yang dihadapi
oleh dunia pers terkait perkembangan dunia pers global karena
perkembangan teknologi informasi yang pada beberapa hal memberikan
dampak negatif bagi perkembangan pers nasional.
Menurut hemat
penulis, kondisi dan tantangan yang dihadapi pers nasional saat ini,
baik dari sisi bisnis maupun redaksi, sudah sampai pada level
terpenuhinya keadaan genting dan memaksa sebagaimana diamanahkan UUD NRI
1945 tentang penerbitan Perpu. Hal ini sebagai akibat tidak mamadainya
lagi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menjawab dan
menanggulangi tantangan pers nasional, terutama dalam menghadapi apa
yang disebut predator pers global. Negara harus hadir untuk memberikan
jelan keluar yang elegan.
UU Pers ini sudah berumur 24 tahun.
Lahir saat awal reformasi, sebelum amandemen UUD 1945, saat telpon
seluler masih hanya dimiliki segelintir kalangan elit dan telpon lintas
provinsi masih roaming, saat SMS belum dikenal apalagi internet.
Google masih di alam rahim teknologi informasi. Predator pers jangankan dikenal, mendengar sajapun belum saat itu.
Membandingkan
kondisi saat itu, tahun 1999 saat UU Pers lahir, dengan saat ini, tahun
2023, akan membawa pada kesimpulan adanya suatu keadaan dimana terjadi
situasi keadaan genting dan memaksa sehingga sangat layak jika Presiden
menerbitkan Perpu tentang Pers.
Menerbitkan Perpu ini jelas
tidak ada atau setidak-tidaknya memiliki resiko paling kecil bagi
Presiden. Berbeda dengan menerbitkan Peraturan Presiden, akan melahirkan
dinamika berkepanjangan yang tak akan berkesudahan. Perpu berpotensi
besar akan dipandang sebagai solusi, sementara Perpres berpotensi besar
akan dipandang sebagai intervensi.
Konstitusi memberikan
kewenangan penuh kepada Presiden untuk menilai keadaan genting dan
memaksa sesuai subjektifitas Presiden. Kemudian berdasarkan penilaian
itu Presiden menerbitkan Perpu. Apalagi ada alasan dan kondisi objektif
yang sagat kuat terkait kondisi pers nasional. Bukti adanya kondisi
objektif yang kuat itu salah satunya dibuktikan dengan fakta bahwa Dewan
Pers mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menerbitkan Perpres
Media Sustainability.
Satu pertimbanhan lagi, Perpu memerlukan
persetujuan DPR sehingga jika kemudian berlaku sebagai UU, tidak saja
memiliki resiko rendah kepada Presiden, namun juga memberikan pondasi
kuat secara hukum bagi pers nasional menghadapi tantangan skala nasional
dan global kedepan karena legalitasnya setingkat UU dan mendapat
persetujuan dan legitimasi dari rakyat melalui wakilnya di DPR.
Materi Perpu Pers
Terkait
materi Perpu tentang Pers, Presiden dapat mengeluarkan amanat kepada
Menkopolhukam atau Menkominfo untuk menyusun materi Perpu dimaksud
bersama-sama dengan kalangan pers nasional.
Materi Perpu disusun
bersama-sama dengan Dewan Pers, seluruh Konstituen Dewan Pers baik dari
organisasi wartawan maupun organisasi perusahaan pers, perguruan
tinggi, Forum Pemred, dan lebih khusus dengan tokoh tokoh pers yang
punya reputasi dalam kapasitas pribadi, serta pihak-pihak terkait
lainnya.
Bahkan Presiden dapat mengamanatkan bahwa Perpu hanya
akan diterbitkan jika Dewan Pers dan seluruh Konstituen Dewan Pers,
tanpa kecuali, menyetujui isinya, bahkan kalau perlu persetujuan itu
harus diwujudkan dalam surat resmi pimpinan pusat Konstituen Dewan Pers.
Tanpa itu Presiden tidak akan menerbitkan Perpu.
Setelah semua
kajian dilakukan dan mendapat persetujuan dari, setidaknya, Dewan Per
dan seluruh konstituen Dewan Pers, barulah Presiden menerbitkan Perpu
Pers tentang Perubahan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, atau kapan
perlu sebagai Pengganti UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Jalan
Perpu yang seperti ini disamping menghindarkan Presiden dari resiko
yang tidak perlu, juga merupakan langkah yang paling dekat dengan
konstitusi dan kepentingan pembangunan fundamental pers pada era
kecepatan dan kecanggihan teknologi informasi kedepan dan kegilaan
predator pers global yang sangat mengancam kehidupan pers nasional.
Kita tunggu bersama langkah bijaksana yang akan diambil Presiden. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Jakarta, 15 Maret 2023,
Ketua Dewan Pengawas YLBH Catur Bhakti / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI (2017-2021/2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar